Menumbuhan Humanisme dalam Ruang Kelas: Sebuah Tantangan Pendidikan






Sekolah beserta sistem, kurikulum, dan segala unsur pendukungnya, hendaknya mampu memproduksi individu yang berkompeten dalam membawa dampak baik bagi masyarakat di lingkungan sosialnya. Melalui proses pembelajaran, individu diharapkan dapat mewujudkan peradaban yang lebih baik. 

Meminjam gagasan Paulo Freire dalam Sekolah Kapitalisme yang Licik, tanpa mengaitkan kurikulum dengan realitas sosial, dunia pendidikan tinggi akan tetap menjadi suatu komunitas yang terlepas dari persoalan masyarakat yang harus menjadi keprihatinannya. 

Dengan kata lain, sekolah dapat dianalogikan sebagai produsen sumber daya manusia berkualitas. Sumber daya manusia yang berkualitas di sini diartikan sebagai individu yang memiliki kompetensi di bidang tertentu dan mampu mengaplikasikannya sehingga membawa kebaikan bagi lingkungan masyarakat dengan memecahkan permasalahan yang ada di dalamnya.

Dalam proses pencapaian yang ideal tersebutlah, segala unsur pendidikan mesti mengedepankan humanisme. Peter Salim dan Yenny Salim (1991) mengemumakan bahwa humanisme merupakan paham yang mempunyai tujuan menumbuhkan rasa perikemanusiaan dan bercita-cita untuk menciptakan pergaulan hidup manusia yang lebih baik. Istilah humanisme memiliki keterikatan dengan istilah yang berakar dari humaniora, humanities (latin: humanior), yaitu ilmu pengetahuan yang bertujuan membuat manusia lebih manusiawi, dalam artian membuat manusia lebih berbudaya. 

Humanisme juga berasal dari studi humanitatis yang mengandung arti kesenian liberal atau studi kemanusiaan dari Cicero. Inti kesenian liberal adalah membebaskan peserta didik dari kebodohan dan kepicikan melalui pengembangan intelektual yang meliputi tata bahasa, retorika (berbicara), syair, sejarah, dan filsafat moral.[1]

Namun begitu, hal tersebut bukan sesuatu yang mudah dicapai. Meminjam istilah Romo Mangunwijaya, adanya kesulitan untuk mecapai tujuan pendidikan terjadi karena pendidikan saat ini masih berpihak pada regulation, bukan liberation 

Regulation yakni mengedepankan tradisi priest (imam) yang mana berfokus pada formalitas dan legalitas hukum. Sedangkan liberation mengedepankan tradisi prophet (nabi) yang mengutamakan eksplorasi, partisipasi publik sekaligus amanat hati nurani. Prioritas pada cara-cara regulation berujung pada politisasi praksis pendidikan untuk tujuan-tujuan pragmatis berjangka pendek.Proses pembelajaran di kelas sering kali menekankan pada hal-hal yang bersifat tekstual saja. Ilmu-ilmu yang dipelajari dalam kelas tidak menjadi bahan refleksi. Peserta didik terfokus pada ilmu pengetahuan yang teknis dan praktis, bukan emansipatoris. Praktik yang timpang macam inilah yang membuat minimnya produksi atensi peserta didik pada realitas sosial. Padahal, ilmu pengetahuan emansipatoris yang berbasis realitaslah yang merupakan dasar bagi lahirnya kesadaran-kesadaran kritis. Pendidikan emansipatoris adalah awal dari perubahan konkrit yang membawa kebaikan bagi seluruh pihak.

Dalam kondisi seperti ini, ruang kelas justru menjadi tempat bagi tumbuhnya gap antara peserta didik dengan realitas sosial—ruang kelas justru menjadi tempat di mana proses pengikisan humanisme terjadi. Praktik macam ini besar pengaruhnya terhadap menghilangnya kemampuan analitis peserta didik. 

Selain itu, struktur masyarakat yang semakin ke sini semakin kompleks membuat individu tumbuh dengan tuntutan yang lebih kompleks pula. Masyarakat dengan struktur sosial yang kompleks berpotensi lebih besar untuk membuat individu di dalamnya menjadi individualis dan jauh dari nilai-nilai solidaritas. Individu dalam masyarakat seperti ini tidak menjalin interaksi berdasarkan rasa persatuan kolektif, melainkan berdasarkan kepentingan yang berorientasi pada materi saja, termasuk interaksi dalam masyarakat di sekolah. Hal ini membuat peserta didik semakin jauh dari realitas sosial, permasalahan, apalagi pemecahan masalahnya. 

Maka, tak jarang kita dihadapkan pada peserta didik yang akrab dengan materi pembelajaran, tetapi begitu jauh dengan kepekaan sosial. Pada akhirnya, sekolah bukan lagi jaminan bagi tercetaknya sumber daya manusia berkualitas seperti uraian di paragraf awal tulisan ini.

Sumber:
Escobar, Miguel dkk. 2016. Sekolah Kapitalisme yang Licik. Yogyakarta: IRCiSoD
Laksana, Ben K. C. 2017. Pendidikan, Pembangunan, dan Kesadaran Kritis. https://indoprogress.com diakses pada 6 Januari 2019
Laksana, Ben K. C. 2018. Pendidik dan Pendidikan untuk Emansipasi. https://indoprogress.com diakses pada 6 Januari 2019
Suciyati, S. 2016. Relevansi Humanisme Gus Dur dengan Moralitas Figur Semar. Skripsi: Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Sularto. 2003. Impian dari Yogyakarta; Kumpulan Esai Masalah Pendidikan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Thariq, Ahmad. 2017. Sekolah dan Reproduksi Budaya Pragmatis. https://indoprogress.com diakses pada 6 Januari 2019





[1] S. Suciyati. Relevansi Humanisme Gus Dur dengan Moralitas Figur Semar. (Skripsi: Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2016) Hlm. 13-14

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cermin dalam Genggaman Corona

Pendidikan di Persimpangan Jalan: Reproduksi atau Rekonstruksi