Cermin dalam Genggaman Corona


Ilustrasi Pandemi/ rawpixel.com

Bak kecoa terbang yang tiba-tiba mendarat di wajah, kemunculan pande mi corona membuat siapa saja panik, gagap, hingga menimbulkan kekacauan. Kehadirannya membuat keadaan tak lagi seperti semula. Ia menuntut kewaspadaan sekaligus memengaruhi mobilitas semua orang. Sebagaimana yang ditorehkan Albert Camus dalam novel Sampar (1947) mengenai manusia yang kacau dalam berpikir ketika menghadapi absurditas: ketidakpastian, krisis, ketakutan, dan kematian.

Karantina yang mendisrupsi ritme kehidupan dan pola interaksi manusia pun mengantarkan kita pada cara hidup yang lain, yang sekaligus mengguncang diri kita semua. Dalam hal psikologis, misalnya. Tirto melaporkan, sebanyak 64,3% dari 1.522 orang responden memiliki masalah psikologis cemas atau depresi setelah melakukan periksa mandiri via daring terkait kesehatan jiwa dampak dari pandemi corona yang dilakukan di laman resmi Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia.

Pembatasan mobilitas juga membuat roda ekonomi nyaris mandek. Seperti yang dinyatakan International Monetary Fund dalam laporan BBC, bahwa prediksi output ekonomi dunia tahun ini akan menyusut hampir 5%, atau hampir 2% lebih buruk dari perkiraan yang dirilis pada bulan April.

Diikuti dengan lenyapnya rutinitas sekaligus pekerjaan manusia, tempat publik seketika kosong dan harus segera mendekap sunyinya masing-masing. Semua orang di berbagai belahan dunia harus merugi baik secara material maupun nonmaterial, sehingga hidup dalam keterbatasan di masa krisis ini harus dilalui.

Meski dengan cara yang tak begitu menyenangkan, kondisi itu membawa manusia pada laku hidup prihatin. Hari ini, meski didasari atas ketakutan dan bukannya kesadaran lebih dulu, manusia lebih memerhatikan kesehatannya dengan rajin mencuci tangan, mengenakan masker, dan menjaga imun dengan berolahraga. Interaksi tatap muka yang terbatas juga membuat manusia memikirkan ulang nilai kehadiran orang lain bagi diri sendiri, beserta perlakuan diri kita terhadap orang lain itu. Pun krisis ekonomi memaksa kita untuk berpisah dari gaya hidup konsumtif, yang pada gilirannya menyadarkan kita tentang laku gemar menghambur-hamburkan sumber daya, dan keterkaitannya dengan alam semesta.

Ketika pabrik-pabrik tak lagi beroperasi, transportasi hanya berhenti di garasi, uang berhenti berotasi, dan pintu mal serta kedai-kedai kopi terkunci, semakin terang bahwa manusia dan gaya hidup flamboyannya sungguh tak berarti. Betapa cara-cara hidup yang dijalani selama ini sungguh sia-sia dan begitu fana. Betapa modernnya hidup manusia tak akan menyelamatkannya dari apapun--termasuk dari wabah yang mendunia. Betapa yang kita butuhkan dan mampu membuat kita bertahan adalah gaya hidup sederhana yang membumi--laku hidup yang berpihak pada alam, manusia, dan kemanusiaan.

Hingga pada akhirnya kita sampai pada kebutuhan mempertanyakan kembali keberadaan diri kita masing-masing. Hingga kita menyadari bahwa disrupsi besar ini sekaligus muncul untuk mendorong manusia supaya melihat ke dalam dirinya kembali. Meski dengan sangat tidak menyenangkan, melalui berbagai tanda alam, manusia perlu menodong kesadarannya sendiri untuk melakukan refleksi. Corona tak hadir dengan kekacauan yang dibawanya saja, ia juga datang bersama cermin dalam gengganggamannya, cermin yang besar sekali, untuk memaksa kita supaya segera berkaca. Hingga pantulannya memperlihatkan celah bagi kita untuk mengadakan transformasi besar. Mobilitas yang melambat ini perlu kita hayati sebagai momentum untuk mengambil jeda dan menata langkah kembali.

Sebab, di saat yang sama, kita menyaksikan bersama penampakan alam yang minim polusi: udara yang menjadi begitu sejuk, sungai begitu jernih, dan jalanan begitu lengang tanpa serakan sampah. Kualitas lingkungan pun meningkat karena manusia tak hilir-mudik melakukan rutinitas. Konsumsi akan berbagai hal juga menurun drastis karena daya beli masyarakat rendah. Pada minyak bumi, misalnya. Menurut data dari IEA Global Energy Review 2020 yang dilaporkan oleh Katadata, pembatasan lalu lintas kendaraan di darat maupun udara menyebabkan konsumsi minyak bumi global di kuartal pertama 2020 anjlok hingga 57% dibanding tahun lalu. Sebaliknya, penggunaan sepeda sebagai transportasi ramah lingkungan kian meningkat karena lebih relevan di masa pandemi, seperti yang dilaporkan Kompas. Juga mengenai laku saling membantu antarmanusia untuk bertahan hidup. Corona merupakan pancingan besar untuk mewujudkan perubahan signifikan.

Kita tak boleh luput bahwa peradaban manusia berkembang seiring dengan kapasitas mental dan intelektual manusia. Maka kita tak boleh gagal dalam membaca dan mengartikan situasi ini melalui potensi mental dan intelektual kita dalam menyongsong era baru setelah adanya pandemi corona. Kondisi ini sudah lebih dari cukup untuk menuntut diri sendiri menata kembali priotitas dalam hidup.

Bersamaan dengan itu, era baru memerlukan adanya intervensi sebagai sistem pengelolaan supaya tatatan dunia baru pasca pandemi corona tak sekadar jadi ilusi, juga tak perlu muncul fenomena survival of the fittest--di mana pihak yang kuat yang akan bertahan. Sebab hidup dengan layak adalah hak semua orang. Oleh karenanya, absennya intervensi oleh pemilik otoritas yang kompeten harus dihindari supaya tak memperdalam jurang ketimpangan.

Intervensi perlu mengedepankan prinsip ilmiah dan rasional sekaligus mempertimbangkan suara dari berbagai pihak dengan prinsip demokrasi. Intervensi dalam konteks kebijakan menuju era baru pun mesti berfokus pada perlindungan terhadap kelompok rentan, baik dari aspek kesehatan maupun sosial-ekonomi. Selain itu, berorientasi pada kelangsungan umat dan kelestarian lingkungan, intervensi ini juga harus mampu mengakomodasi kebutuhan publik yang menunjang gaya hidup sehat dan ramah lingkungan, sehingga dapat diakses semua orang dengan mudah. Sebab, orang-orang akan berpaling pada cara hidup tak sehat dan tak ramah lingkungan apabila tidak diiringi dengan dukungan fasilitas publik. Intervensi dibutuhkan untuk menciptakan kebiasaan yang berkelanjutan.

Era baru pasca pandemi ini perlu menjadi momentum bagi manusia untuk membangun kebudayaan baru--menjadikannya sebagai kesempatan besar untuk menjemput perbaikan. Dalam pada ini, ajaran Sultan Agung yang disampai Sultan Hamengkubuwon X pada Maret lalu masih saja relevan. Mangasah mingising budi, mamasuh malaning bumi, berarti mengasah ketajaman akal budi, membasuh malapetaka bumi. Penguasaan ilmu akan menjadikan manusia mawas diri dan menjadi lebih peka terhadap lingkungan, baik kepada sesama manusia maupun alam semesta.

Era baru yang segera datang hanya akan menjadi percuma dan sama saja ketika kita tak pernah menghayatinya sebagai proses evaluasi bersama. Maka era baru mesti merupakan era di mana manusia hidup dengan perspektif baru--perspektif yang menyelamatkan kita dari segala yang fana. Era baru adalah momentum di mana manusia menyusun ulang prioritas hidupnya di atas prinsip substansi sebagai buah penghayatan situasi yang didorong oleh refleksi keberadaan pandemi. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendidikan di Persimpangan Jalan: Reproduksi atau Rekonstruksi

Menumbuhan Humanisme dalam Ruang Kelas: Sebuah Tantangan Pendidikan