Pendidikan di Persimpangan Jalan: Reproduksi atau Rekonstruksi
Ilustrasi/ behance.net |
Belum lama
pilox warna-warni yang lahir dari
euforia kelulusan hinggap pada seragam putih abu-abu, pemiliknya sudah didekap
kebimbangan baru.
Beberapa
di antaranya tengah bimbang akan melamar pekerjaan di mana. Beberapanya lagi
masih mempertimbangkan jurusan yang akan dipilihnya seiring dengan rencana
melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Keduanya memikirkan satu hal yang sama:
prospek ekonomi.
Seperti
jatuh dari langit, ketakutan soal pekerjaan menjadi momok tersendiri.
Bayang-bayang tentang seseorang dengan setelan kemeja putih dan bawahan hitam
sembari menenteng map yang mencoba peruntungan dari satu gedung ke gedung
lainnya segera memenuhi kepala. Bukan hal baru ketika kebimbangan itu kemudian
membawa kaki mereka pada seminar motivasi untuk mencari semacam pencerahan.
Seminar-seminar
itu barangkali mencoba untuk membangun keyakinan akan rencana hari depan, tetapi
tidak menjelaskan mengapa dan bagaimana kebimbangan-kebimbangan demikian bisa muncul.
Namun,
catatan Henry
Giroux menjelaskannya. Tokoh pedagogi kritis Amerika Serikat itu
menguraikan bahwa institusi pendidikan berusaha mendesain pendidikan menjadi
sebuah mesin untuk memenuhi ekspekstasi ekonomi yang berorientasi pada industri.
Hal tersebut didasarkan atas konsep pedagogi kritisnya yang berupaya
mempertanyakan dan mengungkap hubungan-hubungan kekuasaan di dalam masyarakat,
yang kemudian membentuk pola tertentu.
Mewujudnya
pendidikan sebagai barang dagangan dilihat juga sebagai proses komodifikasi. Gejala
komodifikasi ini merupakan satu bagian dari gejala yang lebih luas: menyebarnya
neoliberalisme.
Sebagai sebuah
ideologi, neoliberalisme melihat kompetisi sebagai jalan bagi tata kelola hidup
bersama. Orang memberatkan kepentingan dirinya sendiri jauh di atas kepentingan
orang lain atau kepentingan publik.
Dalam konteks
pendidikan, paradigma ini membentuk peserta didik menjadi individu yang
kompetitif hingga mengesampingkan nilai-nilai solidaritas dan kemanusiaan.
Pribadi tersebut lahir dari proses pendidikan yang menekankan sistematisasi
pembelajaran, hafalan mutlak, dan ujian. Pandangan ini merupakan pandangan
pedagogi tradisional, di mana pengetahuan adalah sebuah kepastian yang harus
dihafal dan dikuasai dengan tujuan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan
pendapatan individual.
Keberhasilan
penanaman paradigma tersebut salah satunya dapat dilihat pada kebimbangan para
murid lulusan sekolah menengah atas tadi mengenai prospek ekonomi. Hal tersebut
menjadi fokus besar bagi peserta didik. Yang mana, pada akhirnya pendidikan
dipandang sebagai alat mobilitas bagi individu (saja)--sebagai alat
transformasi pribadi.
Pun penanaman paradigma itu tak luput oleh pemerintahan kita. Pada
Oktober tahun lalu, akun Twitter resmi Sekretariat Kabinet RI bahkan dengan
gamblang menyampaikan gagasan menteri pendidikan, Nadiem Makarim, yang menjadikan industri
sebagai orientasi pendidikan. Hal ini kemudian termanifestasi dalam wacananya
mengenai Kampus Merdeka yang menuai kritik dari publik.
Lalu, mengapa
paradigma tersebut terus dilanggengkan? Mansour Fakih dalam Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran
Kritis (2000) menjelaskan bahwa pendidikan pada dasarnya tak pernah terbebas dari kepentingan
melanggengkan sistem sosial ekonomi maupun kekuasaan yang ada. Dalam pengertian
lain, pendidikan tidak pernah berdiri bebas tanpa berkaitan dengan lingkungan
dan sistem sosial di mana pendidikan tersebut diselenggarakan. Sekaligus, pendidikan
digunakan untuk melegitimasi dominasi kekuasaan di masyarakat.
Pelanggengan
atas pola demikian juga tak lepas dari budaya yang dibangun, yang disebut oleh
pemikir pendidikan asal Brazil, Paulo Freire, sebagai budaya diam: membentuk
pola pikir yang patuh terhadap struktur dan hirarki, sehingga berbuah ketakutan
dan kondisi stagnan.
Oleh karenanya, pendidikan
mewujud tak lebih sebagai sarana untuk mereproduksi sistem dan struktur sosial
yang timpang, seperti sistem relasi kelas, relasi gender, relasi rasisme
ataupun sistem relasi lainya. Pandangan ini dikenal dengan teori reproduksi dalam
pendidikan. Imbauan Kemenristekdikti
kepada rektor untuk melarang mahasiswanya berdemonstrasi pada aksi menolak RKUHP
dan RUU yang dinilai kontroversial pada September tahun lalu merupakan salah
satu wujud praktik paradigma tersebut. Selain itu, laporan riset Lokataru Foundation
yang dirilis pada Februari 2020 lalu mendapati adanya 57 kasus pemberangusan
kebebasan akademik di kampus dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Kasus
tersebut di antaranya berupa pelarangan dan pembubaran diskusi, serta
intimidasi dan ancaman terhadap mahasiswa, dosen, maupun lembaga.
Pendidikan
yang dirancang sedemikian rupa, dikritik Giroux karena menimbulkan matinya
aktivisme dan pola pikir kritis peserta didik. Inilah mengapa memandang pendidikan
sebagai alat pemenuhan kebutuhan atas pekerjaan saja menjadi masalah. Pendidikan
selalu lahir dari konteks sosial tertentu.
Selaras
dengan Giroux, gagasan Freire bertolak dari suatu analisis bahwa sistem kehidupan sosial,
politik, ekonomi, dan budaya membuat masyarakat mengalami proses dehumanisasi.
Sehingga, konsep pendidikan yang diusungnya berdasarkan pada proses
memanusiakan manusia kembali.
Maka, pedagogi
kritis Giroux melihat pendidikan bukan hanya sebagai dasar pembentukan
pengetahuan, melainkan juga mengajarkan sikap kritis terhadap konteks sosial
yang menjadi latar belakang pengetahuan tersebut. Artinya, mempertanyakan asal
pengetahuan, terutama ihwal hubungan-hubungan kekuasaan di masyarakat yang
menciptakan aturan dan nilai-nilai yang ada.
Di situ, peserta didik diasah kemampuannya untuk mengaitkan
antara tantangan pribadi dengan tantangan sosial secara luas, karena keduanya
memang tak terpisahkan sebagai persoalan yang privat dan yang publik. Wattimena
dalam jurnalnya
mencontohkan, misalnya, pergulatan untuk mencari pekerjaan terkait dengan isu
pertumbuhan ekonomi serta tata kelola ekonomi yang dilakukan pemerintah secara
umum. Sehingga, peserta didik memiliki relevansi dengan konteks sosial.
Maka pedagogi kritis bisa
menjadi alat untuk membangun kesadaran dan mendorong perubahan sosial secara
luas. Di sini, sekolah dimaknai sebagai tempat perjuangan dan pemicu perubahan
sosial.
Dengan begitu, rekonstruksi tujuan pendidikan menjadi perlu.
Termasuk upaya pendefinisian ulang posisi tiap-tiap individu dalam
penyelenggaraan pendidikan. Meminjam gagasan Paulo Freire dalam Sekolah Kapitalisme yang Licik (2016),
tanpa mengaitkan kurikulum dengan realitas sosial, pendidikan akan tetap
menjadi suatu komunitas yang terlepas dari persoalan masyarakat yang harus
menjadi keprihatinannya.
Pembahasan mengenai pendidikan dalam kaitannyya dengan neoliberalisme memang bukan barang baru. Namun, membawanya ke permukaan tetap perlu. Membangun kesadaran dengan menebar harapan. Karena pada akhirnya, setiap proses pendidikan selalu dihadapkan pada pilihan antara menyesuaikan diri dan mereproduksi sistem yang ada, atau memerankan peran kritis terhadap sistem yang ada.
Komentar
Posting Komentar