Bandung dan Baduy: Dua Dimensi di Tanah Sunda
Berapa jauh jarak antara Bandung
dan Baduy?
Menurut Google Maps, tak lebih dari 230 kilometer. Dengan kendaraan
bermotor, jarak itu bisa ditempuh selama 6 jam. Bukan jarak yang begitu
berarti, setidaknya menurutku. Tapi, ternyata, melalui agenda Kuliah Kerja Liburan
Lapangan, aku mendapati perbedaan kultur yang begitu berbeda di antaranya.
Agenda yang dilaksanakan pada
semester III di jurusan kuliahku itu—Pendidikan Sosiologi—sering kali disebut
KKL. KKL ini berlangsung selama lima hari, dari Selasa, 8 Januari hingga Sabtu,
12 Januari 2019.
Dua tempat yang kusebut di awal
adalah destinasi utama dari kegiatan KKL-ku. Di Bandung, aku mengunjungi kantor
pemerintahan kota (pemkot) barang tiga jam. Sedang di Baduy, aku tinggal di
sana selama dua hari satu malam. Sisanya? Berwisata.
Pada Selasa itu, hari keberangkatan,
ketua KKL menginstruksikan kawan-kawan untuk sudah berada di titik kumpul pukul
07.00. Realitasnya, dua bus yang akan mengangkut kami baru tiba pukul 08.00.
Sebuah bentuk antisipasi keterlambatan pada peserta KKL. Baiklah. Tepat juga,
mengingat kita hidup dalam budaya jam karet. Walau menulisnya begitu, aku tak
bermakud untuk mengamininya menjadi budaya, sih.
Dua belas jam berselang, sekitar
pukul 20.16, aku tiba di Hotel Kembang, Bandung, kemudian berbagi kamar dengan
tiga kawan lain.
Bandung dan Taman Kotanya
Rabu sudah menyapa. Sesuai
sarapan, pukul 07.55, bus membawa kami ke Pemkot Bandung. Tempat itu menjadi
destinasi KKL sebab aku dan kawan-kawan berniat mempelajari Sosiologi
Perkotaan. Pembahasannya meliputi pembentukan dan pertumbuhan kota serta
kehidupan penduduknya.
Sepanjang perjalanan ke sana, aku
melihat banyak. Gedung bertingkat, ruko makanan yang berjejer, taman kota
dengan beragam bunga, trasnportasi umum yang kentara sekali berusaha dibenahi
dan ditata rapi.
Transportasi di Kota Bandung
Hingga di Auditorium Rosada, aku
mendapati Pak Andri, Kepala Humas Litbang, yang membersamai studi kami. Ia
menjelaskan banyak soal Kota Bandung dengan bantuan layar proyektor. Mulai dari
aspek kependudukan, transportasi, ekonomi, hingga tata ruang.
Auditorium Rosada
Dari luasnya
bahasan Pak Andri, kupikir terlihat jelas bahwa pemkot berusaha mengakomodasi
kebutuhan penduduknya yang demikian beragam. Karakteristik masyarakat perkotaan
salah satunya adalah heterogen. Pembagian kerja dan spesifikasi masyarakatnya
tinggi. Dari kacamata Sosiologi, hal tersebut menjadikan interaksi antarmasyarakat
di dalamnya menjadi berdasarkan kepentingan—bukan buah dari rasa solidaritas
atau persatuan. Hal ini membuat masyarakat perkotaan cenderung berorientasi kepada
materi.
Gedung Pemkot Bandung
Bandung juga terlihat siap menyambut
dan mengikuti perkembangan zaman. Terbuka. Pak Andri menyebut, kota yang ia
kelola itu merujuk pada konsep teknopolis. Aku tak memerhatikan betul ketika ia
menjelaskan. Aku sembari menahan kantuk. Pasalnya, tidurku tak lebih dari tiga
jam. Tapi, sepenangkapanku, konsep itu mengedepankan teknologi dalam membangun,
mengelola, dan mengembangkan suatu kota. Dipikir secara etimologis pun begitu. Ya,
kira-kira begitu.
Pak Andri dan beberapa orang yang
membersamainya waktu itu mengenakan pakaian adat Sunda. Nguri-uri budaya, katanya. Mereka mengenakannya sebagai seragam
kerja dan dengan tujuan demikian.
Kota ini kukira besar juga
obsesinya terhadap taman. Di pemkot sendiri, mataku disuguhi warna-warni
tanaman dan bangku panjang di sekitarnya. Juga air mancurnya dan kolam ikan.
Pak Andri sendiri juga sempat berujar, taman kota merupakan hiburan paling
praktis (dan gratis) yang dapat pemkot adakan untuk penduduknya.
Taman Bunga di Pemkot Bandung
Aku pun merasakan kesejukan
berkat konsep tata ruang yang demikian. Hanya saja, sempat terpikir, berapa
banyak dana yang dihabiskan untuk membangun taman-taman ini? Tapi, pikiran itu menguap begitu
saja ketika aku telah sampai di tempat wisata. Aku menghabiskan sisa waktu hari
itu di Farm House dan Floating Market. Dan nampaknya, kita lebih suka ejaan
asing, ya?
Baduy dan Keteguhannya
Aku mengenyangkan perut sebelum
memulai perjalanan ke Baduy pukul 19.15. Di bus, aku segera memejamkan mata
guna menyiapkan fisik untuk mendaki besok pagi. Aku sedikit khawatir. Terakhir
naik gunung, aku muntah.
Pagi-pagi sekali, bus kami telah
sampai di Ciboleger. Aroma durian menyambut kami. Benar saja, ternyata di sini sedang
musim buah berkulit duri itu.
Baduy menjadi destinasi KKL
karena berkenaan dengan mata kuliah Sosiologi Perdesaan. Salah satu dosen pernah
berkata, kebanyakan desa telah berkembang dan telah keluar dari karakteristik
desa. Dengan kondisi demikian, satu hal yang membuat suatu wilayah tetap
disebut desa adalah sistem administrasinya.
Baduy sendiri dirasa masih dekat
dengan karakteristik desa secara keseluruhan. Maka, untuk mendapat pemahaman
lebih baik soal desa, kami tinggal di sana. Masyarakat Baduy terbilang homogen.
Mereka memiliki budaya yang sama, mulai dari mata pencaharian, kepercayaan,
suku, bahasa, hingga cara berpakaian.
Baduy terletak di Kecamatan
Leuwidamar, Lebak, Banten. Penyebutan nama Baduy mulai muncul pada masa Hindia
Belanda. Peneliti menyamakannya dengan kelompok Baduy di Arab yang hidup
berpindah dan terpencil. Sumber lain mengaitkan nama Baduy dengan nama sebuah
bukit di wilayah Kanekes.
Sebelum Pendakian di Terminal Ciboleger
Sekitar pukul 09.00, aku dan
kawan-kawan berangkat mendaki ke Baduy. Beberapa kawan memilih untuk menetap di
Baduy Luar, sisanya di Baduy Dalam. Aku sendiri memilih untuk ke Baduy Dalam.
Masyarakat Baduy atau akrab juga
disebut urang Kanekes memang terbagi menjadi dua. Urang Tangtu, yakni masyarakat
Baduy Dalam, dan Urang Panamping, yakni masyarakat Baduy Luar. Perbedaan antara
keduanya dapat dilihat melalui warna pakaian dan ikat kepalanya. Masyarakat
Baduy Dalam dengan warna hitam-putih, masyarakat Baduy Luar dengan warna
hitam-biru tua.
Sepanjang perjalanan mendaki,
kami dibersamai pemandu dari Banten Traveller (nampaknya benar, kita lebih
gemar pada ejaan asing). Perjalanan dari Ciboleger sampai perkampungan Baduy
Luar memakan waktu sekitar 3 jam. Jalanan yang kami lalui merupakan tanah dan
bebatuan saja. Orang Baduy sendiri yang membuat rute itu. Menarik.
Setelah makan siang di dekat
jembatan bambu yang besar sekali, aku dan kawan-kawan yang memiliki tujuan
Baduy Dalam melanjutkan perjalanan. Sering kali aku berpapasan dengan warga
sekitar yang memikul durian untuk dibawa turun keluar Baduy. Mulai dari yang tua
hinnga muda. Warga paling muda yang aku temui berusia 7 tahun. Sembari membawa
berpuluh-puluh kilo beban. Mencengangkan!
Jembatan Bambu di Perkampungan Baduy Luar
Aku dan Asma,7 Tahun, Warga Baduy Dalam
Lagi, banyak dari mereka tak
menggunakan alas kaki. Sudah terbiasa, katanya. Maka tak heran, kaki mereka
berkulit lebih tebal dan kuat daripada kaki orang yang dalam kesehariannya
beralas. Tak usahlah menyuruh mereka mengenakan alas kaki dengan alasan
perlindungan. Apalagi mengatainya terbelakang. Mereka lebih tahu banyak soal
diri mereka.
Selama sekitar tiga jam
perjalanan, aku banyak melihat pepohonan. Sialnya, pengetahuan floraku buruk
sekali. Yang aku tahu, ada banyak pohon nipah di sana. Orang Baduy menggunakan
pelepahnya untuk atap rumah. Rumah mereka seluruhnya terbuat dari hasil alam:
kayu, bambu, pelepah. Ukuran rumah satu dengan lainnya pun cenderung sama. Ada
ruang antara tanah dan rumah. Ruang itu digunakan warga untuk menyimpan
persediaan kayu, untuk membuat api.
Rumah di Perkampungan Baduy Luar
Dalam mendirikan rumah atau
hunian, warga Baduy bergotong royong tanpa imbalan suatu apa. Interaksinya
berbasis kekeluargaan dan tidak berorientasi pada materi. Menarik sekali,
mengetahui bahwa budaya macam ini masih eksis, padahal secara geografis, letak
Baduy tak begitu jauh dari kota-kota besar seperti Bandung dan Jakarta.
Selama mendaki, aku juga kerap
melihat semacam rumah panggung kecil yang digunakan untuk menyimpan padi. Semacam
lumbung padi. Di situlah warga Baduy menyimpan kekayaannya. Penanaman padi di
sini pun agak beda dengan yang banyak terlihat di Yogyakarta. Sorang backpacer yang berpapasan denganku
memberi tahu, padi di sini disebut padi gogo. Padi yang ditanam kering—tidak direndam
air dan tingginya bisa mencapai tinggi badanku: 150 cm. Kondisi alam Baduy tak
mendukung untuk bercocok tanam padi seperti di Yogyakarta, posisinya miring,
lereng. Apabila ditanami padi yang direndam air, ada resiko longsor, katanya.
Di Baduy, masyarakat diajarkan
untuk bertani dan menenun sejak kecil, rata-rata sejak usia tujuh tahun. Oleh adat, mereka tidak diperkenankan belajar
di sekolah formal. Kata mereka, kalau pinter
bisa keblinger. Mereka memang hidup
dengan optimalisasi sumber daya alam, maka keterampilan yang dibutuhkan adalah
keterampilan mengolah alam. Bagaimana memperlakukan alam dengan baik untuk
tetap mampu bertahan hidup di tengahnya.
Yang lebih menarik, masyarakat
Baduy ini dalam kesehariannya tak jarang berpapasan dengan sekolah formal. Di
Ciboleger, ada sebuah sekolah dasar. Namun begitu, mereka tetap memilih menjadi
Baduy yang taat.
Aku baru sadar pula, ketika sudah
sampai kampung tujuan, bahwa selama perjalanan, aku sama sekali tidak mendapati
warga yang obesitas atau kurang gizi. Seluruhnya proporsional. Hanya saja, tinggi
badannya cenderung lebih pendek dari rata-rata.
Ini wajar, sekaligus keren,
mengingat warga Baduy menganut konsep memiliki dan mengambil secukupnya dari
alam. Apalagi, di Baduy tak diperkenankan menggunakan alat transportasi modern.
Bagi mereka, pergi ke ladang dengan perjalanan satu jam jalan kaki adalah hal
biasa.
Seingatku, aku mengetahui Baduy
pertama kali ketika aku duduk di bangku SMA, melalui buku paket mata pelajaran
Sosiologi. Di sana disebutkan, masyarakat Baduy merupakan contoh masyarakat
yang konservatif dan tertutup. Ada juga stereotip barbar terhadapnya.
Apa yang kulihat dan kurasakan
ternyata bisa dibilang berkebalikan dengan itu.
Menyilakan orang yang datang dari
luar untuk bermalam di rumahnya, menurutku, telah menjadi salah satu bukti. Orang
yang datang dari luar itu jelas begitu berbeda dari mereka. Mulai dari pakaian,
bahasa, hingga perkara agama.
Tapi toh mereka menerima pendatang
dengan sebegitu ramahnya. Aku dan dua belas kawan lain bermalam di rumah Teh
Sarah dan ambunya. Ambu adalah panggilan untuk ibu di Baduy. Pagi-pagi sekali,
Teh Sarah sudah menanak nasi untuk kami, bahkan sebelum kami bangun. Kami juga
direbuskan air untuk minum teh dan kopi di teras rumahnya. Menyenangkan sekali
suasana pagi di sana.
Barang-barang yang kami bawa,
yang notabene tidak boleh digunakan orang Baduy karena adat, pun tidak membuat
mereka merasa nista (alarm handphone-ku
berbunyi pukul setengah lima pagi, ketika Teh Sarah menanak nasi). Barang-barang
lain seperti tas ransel, jam tangan, kaus kaki, sandal gunung, tisu basah, pun
tak menarik perhatian mereka.
Begitu pula ketika ada orang yang
salat. Di rumah warga Baduy, mukena dan sarung yang begitu jauh dari keseharian
mereka bisa saja berguna sesuai fungsinya. Warga setempat menganut kepercayaan
Sunda Wiwitan. Namun, dihadapkan pada yang berbeda, pun sama sekali tak
memengaruhi emosinya.
Aku terkesan sekali merasakan
toleransi yang hadi di sana. Bahkan aku terharu, hanya saja malu
mengungkapkannya. Terdengar berlebihan, bukan?
Tapi, nyatanya, apa yang aku
saksikan saat itu memang sesuatu yang berharga. Aku melihat keimanan yang
haikiki. Penganut Sunda Wiwitan itu memahami esensi kepercayaannya.
Dihadapkan pada segala sesuatu
yang tak sama dengannya, mereka tetap teguh pada apa yang telah ada bersamanya.
Apa yang datang dari luar dan hadir di sekitarnya, bukan sesuatu yang dengan mudah
mampu mengubah mereka. Mereka merasa cukup. Mereka merasa yakin.
Aku ulangi lagi, apa yang aku
saksikan saat itu memang sesuatu yang berharga.
Ingat, bagaimana umat Islam
dengan begitu mudahnya melakukan pemotongan salib pada makam seorang Nasrani?
Lalu, pengeboman gereja setiap menjelang Natal? Lalu, tindakan memidanakan
tetangga yang meminta suara adzan dikecilkan sedikit? Lalu, pengusiran penganut
Ahmadiyah oleh umat Hindu di Lombok? Kau teruskan sendiri lah lalu lalu yang
lain.
Sayang sekali bahwa stereotip
barbar justru melekat pada masyarakat adat.
Aku belajar banyak dari
perjalanan ini dan ingin bermalam lebih lama di Baduy, tetapi Jumat sudah
mengajak kami untuk turun dan pulang. Sekitar pukul 07.00, kami mulai meninggalkan
perkampungan. Melewati jalur yang berbeda, kami hanya berjalan selama tak lebih
dari dua jam dan tiba di sebuah pasar dengan transportasi umum. Dengan itulah,
kami diangkut menuju Ciboleger.
Keluar dari Baduy bak keluar dari
satu dimensi lain yang begitu berbeda dan menyenangkan. Apalagi kalau mengingat
bahwa sebelumnya aku duduk di sebuah auditorium megah di Bandung. Rasanya dua tempat
itu begitu dekat, tapi juga begitu jauh.
Selepas bersih diri dan makan
siang, kami melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta. Lelah perjalanan ini tak
menjadi masalah sebab aku merasa baru menjalani tur dua dimensi yang keren!
Sabtu pagi bus telah sampai di
rektorat kampus dan kami membawa masing-masing diri kami ke peristirahatan.
Mudah-mudahan, perjalanan ini membuat masing-masing kami belajar dengan
sebaik-baiknya.
Tabik!
Komentar
Posting Komentar