5 Hidangan yang Tercipta karena Kemelaratan
Tak bisa ditampik, hubungan manusia dan makanan terjalin sangat erat. Makanan adalah pengalaman universal manusia dalam bertahan hidup. Dan bukan tiba-tiba jatuh dari langit, tiap-tiap makanan memiliki cerita masing-masing untuk sampai di meja makan kita. Seperti kata Jonathan Safran Foer, penulis asal Negeri Paman Sam, makanan adalah budaya, kebiasaan, keinginan, dan identitas.
Di samping itu, tidak semua makanan memiliki kisah menyenangkan, lho. Tidak seperti croffle atau nugget
pisang yang muncul atas inovasi dari para koki, ada pula makanan yang lahir
dari kesengsaraan rakyat biasa kala kondisi krisis melanda.
Tak mengherakan apabila kisah-kisah demikian jarang diketahui orang,
lantaran kini makanan tersebut telah menjadi santapan bagi semua kalangan,
bahkan menjadi hidangan incaran wisatawan kuliner.
Apa sajakah makanan yang memiliki kisah unik tersebut? Ini dia!
1. Tengkleng Kambing
Tengkleng Kambing Khas Solo/ surakarta.go.id |
Siapa sangka, tengkleng kambing lahir dari keterbatasan rakyat Solo dalam
menghadapi zaman penjajahan Jepang. Kala itu, Jepang merampas semua beras untuk
kebutuhan perang dan memaksa petani di desa menjadi romusha, sehingga krisis
pangan terjadi.
Sejarawan Heri Priyatmoko menjelaskan, dalam kondisi tersebut, rakyat
terpaksa mengolah bahan pangan apapun menjadi makanan, termasuk limbahnya. Tak
terkecuali limbah kambing, seperti tulang dan jeroan--sesuatu yang tidak umum
dikonsumsi terutama bagi kaum bangsawan yang gemar menyantap daging.
Adapun hidangan ini dinamai tengkleng karena mencerminkan sulitnya
kehidupan rakyat zaman dulu. Dilansir dari kompas.com, Guru Besar Universitas
Gadjah Mada Prof Dr. Ir Murdijati Gardjito menjelaskan, “Itu dinamakan
tengkleng karena kalau ditaruh di piringnya orang miskin dulu, yang terbuat
dari gebreng [semacam seng], itu, bunyinya kleng-kleng-kleng."
Sekarang, tengkleng telah berkembang dan menjadi kuliner khas Solo. Buat
kamu yang ingin mencoba santapan ini, bisa merapat ke Solo. Ada tiga restoran
legendaris yang bisa kamu kunjungi: Tengkleng Rica Pak Manto di Jalan
Honggowongso Nomor 36, Tengkleng Klewer Bu Edi di bawah gapura Pasar Klewer,
dan Tengkleng Bu Jito Dlidir di Jalan Kolonel
Sugiono Nomor 67. Cocok juga untuk kamu yang mengidap darah rendah, lho!
2. Tiwul
Tiwul Olahan Singkong/ food.detik.com |
Pernah menyantap tiwul? Pasti masih ingat dengan rasanya yang manis-gurih
khas singkong! Saat ini, kita kerap menjumpai tiwul di deretan jajanan pasar.
Namun, sebelumnya, tiwul merupakan makanan pokok setara dengan nasi, lho,
terutama di kalangan masyarakat daerah Wonosobo, Wonogiri, Pacitan, dan
Blitar.
Menyitir laporan kompas.com, sejarawan Heri Priyatmoko menerangkan, “Tiwul
yang berbahan baku singkong dijadikan pengganti nasi ketika harga beras tidak
terbeli oleh masyarakat pada era penjajahan Jepang tahun 1960-an.” Masyarakat
menjemur singkong hingga kering dan menjadi gaplek untuk kemudian ditumbuk
halus lalu dikukus. Dengan begitu, perut-perut lapar dapat tetap terisi.
Saat ini, selain dihidangkan bersama gula merah, gula pasir, dan parutan
kelapa, tiwul juga disandingkan dengan coklat dan keju. Kamu bisa menjumpai
tiwul di berbagai daerah di Indonesia, terutama di Jawa dengan harga
terjangkau. Ada pula tiwul kemasan instan yang bisa dibeli via e-commerce,
lho!
3. Sate Kere
Seporsi Sate Kere di Pasar Bringharjo/ Syaima Sabine Fasawwa
Istilah kere
tentu tak asing bagi orang Jawa. Kere memiliki arti miskin atau tidak punya
harta. Dan kisah sate kere memang tidak jauh-jauh dari kemelaratan.
Serupa dengan
kisah tengkleng kambing, sate kere berawal dari ketidakmampuan masyarakat
miskin yang ingin menyantap daging di masa penjajahan. Daging adalah makanan
mewah yang hanya disantap oleh kaum bangsawan pada masa pendudukan Belanda.
Akhirnya,
masyarakat berkreativitas membuat sate tanpa daging. Memanfaatkan limbah pangan
yang ada, masyarakat menggunakan jeroan sapi dan gembus yang berasal dari ampas
pembuatan tahu sebagai bahan dasar sate kere.
Sebaliknya,
kaum bangsawan sangat anti terhadap jeroan dan gembus. Bahkan, mengutip laporan
krjogja.com, pada masa tersebut kaum elite bekerja sama dengan penguasa lokal
untuk mengatur abattoir (tempat penyembelihan hewan) supaya tidak
menjual daging bercampur jeroan kepada restoran Belanda. Hal ini dilakukan demi
menjamin konsumsi daging bagi para bangsawan.
Saat ini, sate
kere menjadi santapan kuliner semua kalangan. Hidangan ini banyak ditemukan di
daerah Solo dan Yogyakarta. Di Solo, salah satunya kamu bisa mampir di warung
legendaris Mbak Tug di Jalan Arifin Nomor 63. Sedangkan di Yogyakarta, kamu
bisa menyantap sate kere di trotoar sekitaran Pasar Bringharjo.
4. Bubur
Bubur Ayam Hidangan Favorit Saat Sarapan/ masakapahariini.com |
Siapa sangka
bahwa menu yang kerap menemani sarapan warga +62 ini lahir dari keprihatinan
negeri Tiongkok pada masa krisis. Dilansir dari bobo.grid.id, bubur tercatat
sejarah pertama kali sejak sebelum masehi, ketika Kaisar Kuning atau Kaisar
Xuanyuan Huangdi berkuasa. Pada masa itu, tepatnya tahun 238 SM, terjadi musim
paceklik atau kekurangan bahan makanan yang disebabkan musim kemarau
berkepanjangan.
Kaisar
memikirkan cara untuk mengatasi kondisi tersebut. Dimulai dari kaisar yang
sedang makan dan menuangkan sup panas ke dalam nasinya, didapatilah nasi
tersebut mengembang, menjadi lembek, dan bertambah banyak. Sejak itu, kaisar
meminta juru masak untuk mengolah beras sampai menjadi bubur, sehingga ada
persediaan makanan yang lebih banyak untuk rakyatnya dalam menghadapi masa
paceklik.
Saat ini, kita
bisa menemui bubur di berbagai daerah di Indonesia dengan berbagai topping, mulai
dari ayam, telur, hingga sate usus dan sate ati.
5. Intip
Intip Olahan Kerak Nasi/ surakarta.go.id |
Dalam bahasa
Jawa, intip berarti kerak nasi. Kerak nasi ini biasanya menempel di dasar kuali
atau ketel, perkakas yang digunakan orang zaman dulu untuk menanak nasi.
Untuk bertahan
hidup di masa krisis, lagi-lagi masyarakat memutar otak dengan memanfaatkan
segala bahan pangan yang ada, termasuk kerak nasi di dasar kuali. Ketika itu,
warga mengkonsumsi kerak nasi dengan cara ditaburi parutan kelapa. Perkembangannya,
intip yang juga dijadikan sebagai pakan ternak ayam atau bebek ini kemudian
diolah dengan cara lain, yakni dijemur dan digoreng, lalu diberi tambahan bumbu
manis-gurih dan asin.
Kudapan ini
banyak digemari masyarakat, sehingga kemudian dibuat secara sengaja. Alias
bukan lagi berasal dari nasi yang menempel di kuali, melainkan dibuat dengan
cara meletakkan nasi di atas penggorengan, ditekan hingga menempel di
dasar penggorengan, dan dibakar di atas api sebelum kemudian dijemur
hingga kering. Baru setelah itu digoreng lagi dalam rendaman minyak panas.
Semakin lama,
intip pun hadir dengan berbagai ukuran dan rasa. Intip bisa ditemukan di
berbagai daerah di Indonesia, seperti di Solo dan Cirebon.
Sudah pernah
mencoba semua makanan di atas? Mana yang menjadi favoritmu? Menjajal 5 makanan
di atas akan menjadi pengalaman unik. Selain kenyang, kita bisa belajar sejarah
sekaligus memahami bahwa makanan erat dengan sejarah sosial-budaya manusia!
Komentar
Posting Komentar