Betapa Rempongnya Masyarakat Modern dalam Mencapai Stabilitas Mental: Sebuah Refleksi atas Minimalisme Masyarakat Baduy
Bagaimana tidak, saya hidup di
tengah berbagai tawaran produk yang seliweran di mana-mana. Di baliho jalanan,
di televisi, di sosial media. Aih, mau stalking akun doi aja harus pake lihat promo
jaket Erigo dulu.
Pengalaman itu bukan apa-apa
sampai kemudian saya menyadari bahwa hal-hal demikian membuat saya menjadi konsumtif.
Saya jadi kesulitan untuk menentukan prioritas--mana kebutuhan, mana keinginan.
Enggak jarang saya tiba-tiba check out barang-barang
lucu karena iseng. lagi, ketika saya membeli barang bermerek bukan karena kualitasnya,
tapi karena bakal merasa keren ajah. Iya, saya norak.
Di situ saya mendapati bahwa
orang menggunakan
suatu produk bukan karena kebutuhan akan fungsinya, melainkan oritentasi
terhadap pengakuan dari lingkungan sosial mengenai apa yang ia punya. Konsep
kepemilikan sangat ditonjolkan di sini. Dan begitulah cara iklan
bekerja.
Makanya, beberapa tahun
belakangan muncul kampanye gaya hidup minimalis sebagai counter wacana gaya hidup konsumtif. Pasalnya, perilaku konsumtif ini
bikin orang jadi kelewat rakus sekaligus membuat orang jadi berlomba-lomba
dalam materi, hingga berdampak buruk bagi kondisi psikologis--jadi mudah resah
dan tak percaya diri.
Salah satu buku yang kemudian muncul
membahas gaya hidup minimalis adalah Goodbye, Things: The New Japanese
Minimalism (2015) karya Fumio Sasaki. Sasaki mengenalkan minimalisme sebagai
seni mengetahui, memahami, dan mempertahankan hal-hal yang penting bagi diri
sendiri. Tujuannya agar manusia terbebas dari rasa kepemilikan. Dengan begitu,
jiwanya lebih tenang karena enggak kepusingan dengan hasrat memiliki sesuatu
yang belum tentu diperlukan.
Masih pada lamunan yang sama, fenomena
tersebut membawa ingatan saya tentang masyarakat Baduy. Iya, masyarakat adat
yang berada di Banten. Januari 2019 lalu, saya berkesempatan bermalam di Baduy
Dalam. Singgah selama dua hari satu malam, saya melihat hal menarik berkaitan
dengan gaya hidup minimalis yang belakangan diupayakan oleh masyarakat modern, tetapi
telah ada sejak waktu yang lama di masyarakat Baduy. Apa saja, sih? Cekidot!
Menggunakan secukupnya
Salah satu prinsip minimalisme
adalah menggunakan secukupnya. Selama saya mendaki sekitar 5 jam menuju Baduy
Dalam, acapkali saya berpapasan dengan warlok, dan gokilnya, tidak ada satu pun
dari mereka yang obesitas atau kurus-kering kekurangan gizi. Begitu juga kalau
kita browsing gambar masyarakat Baduy
di internet. Semua terlihat proporsional.
Tampilan fisik yang serupa dalam
suatu kelompok ini secara tidak langsung merepresentasikan setidaknya dua hal,
lho.
Pertama, mengenai bagaimana
mereka memandang sumber daya alam di sekitarnya. Masyarakat Baduy mengelola potensi
alam yang ada di sekitarnya tanpa perspektif kepemilikan individu, apalagi
konsep menimbun untuk diri sendiri. Ladang yang ada di alam Baduy dikelola
bersama menggunakan aturan adat. Mereka memahami betul mengenai apa saja,
bagaimana, kapan, dan seberapa banyak
yang harus ditanam dan dipanen. Alhasil, konsumsi mereka tidak berlebih dan
merata.
Sementara itu, masyarakat modern
di luar Baduy masih sarat dengan isu ketimpangan. Banyak orang obesitas, tetapi
dalam waktu yang sama tak sedikit pula kasus busung lapar.
Kedua, sistem pangan yang
berjalan demikian menunjukkan bahwa mereka memiliki kontrol nafsu yang baik.
Pola hidup demikian pada gilirannya melatih mereka untuk terbiasa mengontrol hasrat.
Mereka mengambil dan memanfaatkan sesuatu berdasarkan keperluan. Terbukti,
hingga hari ini, alam Baduy masih tetap asri.
Pun pada ihwal di luar pangan,
ketika saya bermalam di salah satu rumah warga Baduy Dalam, saya tidak
menjumpai tumpukan barang berlebih. Semua terawat dan memiliki fungsinya
masing-masing.
Sementara itu, masyarakat modern
di luar Baduy perlu mengambil kelas yoga atau meditasi untuk mencapai
minimalisme.
Bekerja secukupnya
Minimalisme juga tentang memahami
kebutuhan sekaligus kapasitas diri. Dengan begitu, alokasi penggunaan waktu dan
energi berjalan efektif dan efisien.
Di Baduy sendiri, tentang
manajemen pemenuhan kebutuhan ini bisa kita dengar penjelasannya dari salah
satu warga Baduy Dalam, yakni Ayah Sapri. Dalam dokumenter Ekspedisi Indonesia Biru
yang dirilis tahun 2015 oleh Watchdoc Image, dalam bahasa lokal Ayah Sapri
berujar, yang artinya, “Pemerintah mendorong agar kami dapat panen setahun dua
kali. Tapi adat melarang. Kalau panen setahun dua kali, khawatir kami
kelelahan, waktu habis untuk bekerja. Meski panen setahun sekali, asal cukup
sandang pangan.”
Jelas terlihat bahwa prinsip work-life balance telah menyatu dalam kehidupan
masyarakat Baduy. Mereka tak menaruh ukuran sejahteranya pada materi belaka,
yang sejalan dengan tujuan minimalisme, yakni pembebasan dari keterikatan pada
materi duniawi.
Sementara itu, masyarakat modern akrab
sekali dengan isu overwork dan burnout akibat pekerjaan, di mana work-life balance jadi barang mahal. Dalam
memahami situasi tersebut, pun, kaum modern ini bahkan kadang perlu merogoh
kocek untuk mengikuti webinar terkait atau untuk menggunakan bantuan jasa
psikolog. Rempongnya.
Merasa cukup dengan menerapkan self-love
Minimalisme merupakan seni untuk
merasa cukup. Hal ini bisa dicapai dengan cara mencintai diri sendiri alias self love. Dan orang Baduy sudah sangat
mahir melakukannya.
Masyarakat Baduy memahami dan
menikmati betul cara hidupnya, termasuk cara mentransfer pengetahuan. Mereka
tidak menggunakan sistem pendidikan formal untuk itu.
Masih dalam dokumenter yang sama,
Ayah Sapri menjelaskan bahwa yang dibutuhkan anak-anaknya untuk bertahan hidup adalah
sekolah tani. “Belajar dari saya atau dari ibunya. Meski tak sekolah formal,
tapi wajib sekolah bertani, mengerti tanam-tanaman,” terangnya. Dan sama sekali
tak ada perasaan minder mengenai itu, meskipun warlok Baduy sering berpapasan
dengan murid sekolah yang berlokasi tak jauh dari tempat tinggalnya.
Begitu pula dalam hal lain.
Selama di Baduy, saya mengenakan pakaian warna-warni, membawa handphone, menggendong tas ransel, dan
mereka tak terpengaruh sama sekali. Mereka sudah merasa cukup dengan apa yang
ada bersama dirinya.
Enggak ada ceritanya mereka merasa
insecure ketika melihat orang-orang
luar Baduy pakai Converse atau iPhone. Warga Baduy tetap konsisten bangun pagi,
pergi ke ladang, menenun kain, dan mandi di kali dengan enjoy--tanpa alas kaki,
tanpa mikirin OOTD.
Pengunjung yang singgah di Baduy
sama sekali tak menghambat keseharian mereka, apalagi mengikis identitasnya.
Masyarakat Baduy mengerti dan menghargai asal-usul mereka sendiri, hingga tetap
eksis dan mampu mempertahankan jati dirinya.
Sementara itu, masyarakat modern
yang hidup di tengah kemudahan teknologi, justru kerap mengalami krisis
identitas yang membawanya pada insecurity
hingga anxiety. Karena sudah
sebegitu tercerabutnya dari asal-usul diri sendiri, masyarakat modern mudah
terbawa arus yang akhirnya membuat kesulitan dalam memahami diri sendiri--gagal
mengenali diri sendiri, apalagi mencintai diri sendiri.
Hm, sebegitu rempongnya
masyarakat modern dalam menggapai gaya hidup minimalis.
Komentar
Posting Komentar